Thursday, August 31, 2006

Kucai Pelumpuh Hipertensi

Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengobati penyakit tekanan darah tinggi dengan ramuan tradisional. Hal ini bisa dimengerti. Sebab, tanaman obat berkhasian anti hipertensi memang berlimpah di negara ini. Selain itu, ada anggapan bahwa obat kimia penuh dengan efek samping berbahaya dan harganya yang relatif mahal semakin menjamurkan pemakaian obat tradisional.

Namun, di sisi lain, ramuan tradisional yang sudah teruji secara klinis untuk mengatasi hipertensi itu masih jarang. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ramuan herbal itu diantaranya adalah seledri dan kumis kucing, yang bahkan telah menjadi fitofarmaka.

Seledri (Apium Graviolens L) mampu menangkal hipertensi karena tanaman ini mengandung senyawa aktif apigenin yang berfungsi sebagai calcium antagionist dan manitol yang identik dengan diuretik Sementara kumis kucing (Orthosipihon stamineus benth) juga mempunyai kandungan yang berfungsi sama sebagai diuretik. Kombinasi antara seledri dan kumis kucing sebagai anti hipertensi itu dilakukan oleh DR. Dr. Siti Fadillah Supari, SpJP sekitar 4 tahun lalu.

Khazanah pengobatan tradisonal untuk hipertensi tampaknya akan bertambah. Sebab, kucai (Allium schoenoprasum) saat ini sedang menjalani serangkaian uji laboratorium untuk mengetahui khasiat sesungguhnya sebagai herbal yang memiliki potensi anti hipertensi.

Kucai merupakan sejenis sayuran yang berasal dari keluarga Lili (tanaman berumbi). Tumbuhan ini mengandungi vitamin B dan C, karotin dan komponen belerang. Masyarakat Indonesia telah lama memanfaatkan kucai untuk pengobatan. Diantaranya untuk mengatasi keputihan, darah tinggi dan sembelit.

Selain itu, kucai diyakini mempunyai khasiat antiseptik untuk membunuh kuman bakteria dalam usus dan menjadi perangsang dalam proses pengasaman usus. Kucai juga berkhasiat melancarkan aliran darah, sekaligus menghindarkan pembekuan darah.

Uji Klinik

Orang yang kini sedang meneliti kucai sebagai obat herbal antihipertensi adalah Lia Amalia, MSi, staf pengajar Farmakologi-Farmasi Klinik Departemen Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama dengan Dr.Rully M.A.Roesli,PhD,SpPD-KGH, staf pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran (FK-Unpad) yang bertindak sebagai pembimbing.

Menurut Rully, indikasi utama penelitian kucai adalah untuk mengatasi hipertensi. ”Peneltian yang dilakukan terhadap kucai ini mulai dari kandungan zat aktif hingga uji klinik terhadap binatang. Kedua tahap itu sudah selesai,”katanya.

Sekarang, lanjut Rully, sedang dilakukan uji klinik pada manusia untuk mengetahi efikasi (khasiat) dan efektifitas kucai menurunkan tekanan darah tinggi. ”Memang masih perlu waktu lama bagi kucai untuk bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal anti hipertensi,”tegas Rully.

Sebelumnya, DR. Irda Fidrianny, M.Si, staf pengajar Biologi-Farmasi Departemen Farmasi ITB pernah juga meneliti efek hipotensi dan antihipertensi terhadap ekstrak dan fraksi ekstrak simplisia segar dan kering dari tumbuhan kucai.

Hasil penelitian Irda menunjukkan bahwa ekstrak etanol, ekstrak n-heksana, fraksi ekstrak etil asetat, fraksi ekstrak n-butanol dan fraksi ekstrak air sisa baik dari simplisia segar dan kering mempunyai efek hipotensi dan antihipertensi.

Sejatinya, penelitian obat tradisional Indonesia seperti kucai ini memang harus terus digalakan. Dengan demikian khasiatnya bisa dibuktikan. Kalau bisa, menjadi fitofarmaka pilihan.

Tuesday, August 15, 2006

Dua Sisi yang Saling Menghantui

Gejala yang muncul pada penderita manik-depresi dianggap suatu kewajaran dan hanya menjadi bagian dari perilaku kepribadian.

Judul di atas kelihatannya menyeramkan. Tapi, memang demikianlah keadaan yang dialami penderita ganggguan bipolar. Kadang-kadang gembira yang berlebihan, terlalu percaya diri dan cerewet. Namun, di lain waktu kehilangan semangat, depresi serta murung. Mirisnya lagi, masalah kejiwaan yang dikenal dengan istilah gangguan manik-depresi ini sering membuat penderitanya terdorong untuk melakukan aksi bunuh diri.

Tidak percaya ? Coba simak apa yang terjadi dengan Veni, seorang praktisi periklanan yang berkerja sebagai copywriter ini.

Veni telah mengalami periode-periode suasana hati yang suram sejak ia berusia 18 tahun. Tetapi pada usia 20 tahun, ia mulai mengalami sesuatu yang baru. Keadaan euforia yang mengejutkan dan energi yang luar biasa tinggi. Gagasan yang berseliweran menyerbu benaknya, ucapan yang terbata-bata, dan kekurangan tidur disertai kecurigaan tak berdasar bahwa teman-temannya sedang memanfaatkan dia. Lantas, Veni menyatakan bahwa ia dapat mengubah warna benda-banda sesuai dengan keinginannya.

Pada saat itulah, ibunda Veni sadar bahwa bantuan medis dibutuhkan. Maka ia membawa Veni ke rumah sakit. Setelah dengan cermat memonitor suasana hati Veni yang berubah-ubah, para dokter akhirnya mencapai sebuah diagnosis. Yakni Veni mengidap gangguan bipolar.

Jika dibandingkan dengan gangguan jiwa lainnya seperti psikopat atau skizofrenia, demikian Prof. Dr. Sasanto Wibisono, SpKJ(K), ganguan bipolar tidak begitu terkenal. ”Namun, gangguan ini bisa jadi banyak diidap masyarakat,” kata Guru Besar Psikiatri FKUI-RSCM ini.

Kurang tenarnya gangguan bipolar itu, jelasnya, karena masyrakat menggagpa hanya bagian dari perilaku kepribadian. ”Apalagi sikap masyarakat yang tidak mau akrab dengan istilah gangguan jiwa,” terang dokter kelahiran 10 September 1937 ini.

Sasanto mengungkapkan, di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini sepanjang hidup mencapai 0,3-1,6 persen. Sebagian besar menyerang pada kelompok umur 15-24 tahun. Ironisnya, kata Sasanto, sepertiga dari penderita ini cenderung punya keinginan bunuh diri dan 10-20 persennya berhasil melakukannya

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Masih gelap. Apalagi hingga kini memang belum ada survei yang bisa memberikan data pengidap penyakit tersebut. Stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa membuat orang enggan mengakui dirinya mengidap manik-depresi.

Sasanto menjelaskan, kedua sisi alam perasaan dan perilaku penderita gangguan bipolar -baik manik atau depresi- dapat sangat ekstrim. Namun, ada kalanya tidak terlalu menonjol. "Masing-masing individu gejalanya bisa berbeda. Ada yang lebih menonjol kutub maniknya atau kutub depresinya," tambahnya.

Kondisi "terganggu" pada awalnya dapat berlangsung beberapa minggu hingga 2-3 bulan, kemudian kembali "normal" untuk jangka waktu yang agak lama. Bisa dalam hitungan bulan, malah hingga bertahun-tahun. Kondisi ini kemudian berulang kembali atau bersifat siklis.

Faktor Penyebab

Menurut Sasanto, penyebab gangguan bipolar terdiri dari banyak faktor. Yakni mencakup aspek biologis, psikologis dan sosial. Secara biologis, ganguan ini dikaitkan dengan faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Sedangkan, secara psikososial, dihubungkan dengan pola asuh masa kanak-kanak, stres akibat kehidupan yang menyakitkan, atau stres karena kehidupan yang berat dan berkepanjangan.

Gangguan bipolar merupakan penyakit kronik. Layaknya, penyakit kronik yang lain, seperti, diabetes, jantung, atau ginjal, maka gangguan ini pun perlu penanganan yang berkesinambungan. Juga, harus ditangani secara hati-hati.

"Kurangnya pemahaman masyarakat akan kesehatan jiwa dan stigma terhadap pengidap bipolar dapat menyulut sikap dan perilaku yang keliru," ujar Sasanto. Misalnya, ketika penderita gangguan bipolar sedang dalam episode depresi, ditengarai sebagai perwujudan orang yang lemah iman, kurang bertakwa, dan sebagainya.

Kontras dengan depresi, tegas Sasanto, gangguan bipolar menyerang pria dan wanita dalam jumlah yang sama. Hal ini paling sering dimulai sewaktu seseorang baru menginjak dewasa, tetapi kasus-kasus gangguan bipolar telah didiagnosis pada remaja dan bahkan anak-anak. Meskipun demikian, tegasnya, menganalisis gejalanya dan menarik kesimpulan yang benar dapat sangat sulit bahkan bagi seorang pakar medis sekalipun. Bisa diistilahkan, gangguan bipolar adalah bunglonnya gangguan kejiwaan, mengubah tampilan gejalanya dari satu pasien ke pasien lain, dan dari satu episode ke episode lain bahkan pada pasien yang sama.

Penyakit ini, kata Sasanto, harus diobati secara kontinyu. Sebab, jika tidak, maka siklus kambuhannya akan memendek. Sayangnya, masyarakat umumnya tidak mengetahui gangguan tersebut dan baru dibawa ke dokter setelah keadaan lanjut.

Bagaimana dengan terapinya? ”Dengan mengombinasikan penggunaan obat antipsikotik, antidepresan, dan mood stabilizer secara tepat. Hanya saja, terapi ini harus berkesinambungan dan membutuhkan jangka waktu cukup panjang,” tutur Sasanto.

Gara-gara tulisan ini pula saya bisa mendapatkan rezeki. Lumayanlah. Astra Zeneca sebagai produsen Seroquel menganggap tulisan ini cukup bagus sehingga layak untuk mendapatkan penghargaan.

 
Blog Design By: BlogSpot Templates