Sunday, April 30, 2006

Buruh

Hari ini tanggal 1 mei. Itu berarti peringatan Hari Buruh Internasional atau Mayday. Di negara-negara barat, Hari Buruh Internasional adalah hari libur. Sementara di Indonesia, meski sudah dirayakan sejak tahun 1920-an lalu, namun saat pemerintahan Orde Baru berkuasa, Hari Buruh ditiadakan. Hari Buruh Internasional kembali marak setelah kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 lalu.

Akibat jatuhnya rezim Soeharto juga membuat buruh bebas membentuk organisasi pekerja. Diperkirakan, saat ini ada sekitar sebelas ribu serikat buruh yang bernaung di bawah 69 federasi.

Persoalan buruh di Indonesia adalah masalah pelik. Masalah yang manjadi problem kronik setiap tahunnya adalah upah pekerja. Maklum saja, hingga kini para buruh belum mendapatkan upah layak, yang memenuhi kebutuhan fisik minimum mereka. Padahal, harga-harga kebutuhan dasar selalu naik setiap saat. Apalagi jika ada kenaikan BBM, otomatis upah buruh pun menjadi tidak berharga.

Sebagai gambaran, upah mimimum propinsi (UMP) di Jakarta tahun ini adalah Rp 819.000. Padahal, idealnya, dengan tingkat inflasi seperti sekarang, UMP di Jakarta, sesuai tuntutan buruh adalah Rp 905.000. Meski tiap tahun ada kenaikan, tapi kesejahteraan buruh kelihatannya tidak pernah meningkat.

Hari Buruh Internasional 1 Mei 2006 ini di Indonesia nuansanya sangat lain. Yakni mayoritas buruh menolak revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menurut mereka sangat tidak adil dan hanya menguntungkan pengusaha saja. Sebagai pribadi, saya sangat mendukung upaya buruh ini. Apalagi, revisi UU ini memang lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.

Coba bayangkan saja. Jika buruh, dengan "terpaksa" di-PHK, maka buruh yang gajinya di atas Rp 1 juta, bakal tidak diberi pesangon. Asal tahu saja, aturan ini tidak berlaku bagi para buruh di pabrik saja. Orang kantoran yang berdasi juga terkena pasal ini.

Pasal lainnya menyebutkan, buruh/pekerja yang mogok juga terancam di-PHK. Bahkan, jika mogok kerja tidak sah yang mengakibatkan perusahaan rugi, pekerja/buruh dapat dituntut ganti rugi.

Masih banyak revisi pasal-pasal yang dianggap mengebiri hak-hak buruh. Karena itu wajarlah jika para pekerja memanfaatkan momentum Hari Buruh INternasional untuk ramai-ramai turun ke jalan.

Nah, bagaimanakah draft revisi UU yang ditolak para pekerja itu ? Ini dia.

Pasal 35 Ayat 3: Pemberi Kerja kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Revisi: Unsur perlindungan Negara (kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja) dihapus.
Pasal 46 Ayat 1: Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan atau jabatan-jabatan tertentu. Ayat 2: Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Keputusan Menteri.

Revisi: Tidak ada batasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apapun di perusahaan.
Pasal 49: Ketentuan mengenai tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

Revisi: pasal ini dihapus.
Pasal 59 Ayat 1: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Revisi: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kontrak) yang dilakukan atas dasar jangka waktu, dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan.

Ayat 4 pasal 59 : Perjanjian Kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Revisi: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu batasan maksimum menjadi 5 tahun.
Pasal 64: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis (outsourcing).

Revisi: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65 Ayat 1: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Dalam ayat 1 harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Ayat 2: Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud. Ayat 3: Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

Ayat 4: Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat 5: Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Ayat 6: Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

Ayat 7: Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.Ayat 8: Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Ayat 9: Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat.

Revisi: pasal ini dihapus.
Pasal 66 Ayat 1: Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Revisi: diubah.
Pasal 79 Ayat 2 (d): Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Revisi: pasal ini dihapus.
Pasal 88 Ayat 1: Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Revisi: Pemerintah menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

Ayat 2: Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Revisi: Upah minimum memperhatikan kemampuan sektor usaha yang paling lemah marjinal.

Catatan:
Ketentuan UU Ketenagakerjaan:
a. Upah minimum ditetapkan di tingkat propinsi dan kabupaten dan dapat pula ditetapkan secara sektoral.
b. Upah minimum ditetapkan berdasarkan total nilai standar Kehidupan Hidup Minimum (LHM) atau Kehidupan Hidup Layak (KHL).
c. Upah minimum disesuaikan tiap tahun.

Rekomendasi Bappenas:
a. Upah minimum ditetapkan di tingkat propinsi dan bukan di tingkat kabupaten.
b. Upah minimum ditetapkan kembali sebagai jaring pengaman sosial atau batas bawah upah.
c. Upah minimum disesuaikan setiap 2 tahun.
. Pasal 92 Ayat 1: Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.

Revisi: Struktur dan skala upah hanya golongan dan jabatan saja, pendidikan, masa kerja, kompetensi dihapus.
. Pasal 100 Ayat 1: Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.

Revisi: Fasilitas kesejahteraan dihapus.
. Pasal 142 Ayat 1: Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan adalah mogok kerja tidak sah.

Revisi: Mogok kerja tidak sah dapat di PHK tanpa pesangon.

Ayat 2: Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Revisi: Mogok kerja tidak sah yang mengakibatkan perusahaan rugi pekerja/buruh dapat dituntut ganti rugi.
Pasal 155 Ayat 3: Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Revisi: Skorsing dibatasi selama-lamanya 6 bulan dan diberikan upah hanya 50%.
. Pasal 156 Ayat 1: Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Revisi: Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan 1x penghasilan tidak kena pajak (PTKP)-upah di bawah Rp 1.000.000 dan di atas Rp 1.000.000 tidak mendapatkan pesangon.

Ayat 3: Perhitungan upah pesangon sebagaimana dimaksud ayat 1 paling sedikit sebagai berikut:

g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah
h. masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah
i. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah Revisi: poin (g) masa kerja 6 tahun atau lebih, 7 bulan upah; (h) dan (i)
dihapus.

Ayat 4: Perhitungan uang penghargaan masa kerja dimaksud ayat I ditetapkan
sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

Revisi:
a. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 10 tahun, 2 bulan upah
b. Masa kerja 10 tahun tetapi kurang dari 15 tahun, 3 bulan upah
c. Masa kerja 15 tahun tetapi kurang dari 20 tahun, 4 bulan upah
d. Masa kerja 20 tahun tetapi kurang dari 25 tahun, 5 bulan upah
e. Masa kerja 25 tahun atau lebih, 6 bulan upah point f, g dan h dihapus.

Ayat 5c: Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

Revisi: Penggantian perumahan sebesar 10% bagi pekerja/buruh yang mendapatkan fasilitas atau tunjangan perumahan serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja/buruh yang di-PHK.
. Pasal 158: Tentang kesalahan berat tidak berlaku lagi berdasarkan Mahkamah Konstitusi karena kesalahan berat tersebut merupakan bagian dari hukum pidana.

Revisi: diusulkan kembali

16. Pasal 167: Tentang uang kompensasi pensiun.
Revisi: pasal ini dihapus.

Saturday, April 29, 2006

Tes Darah

Sudah sekitar 1,5 bulan sejak Rifa terakhir kali transfusi darah di Harapan Kita. Dan sekarang, Rifa harus tes darah lagi.

Itu berarti, "penderitaan" Rifa di mulai lagi. Bayangkan saja. Anak yang belum genap dua tahun ini harus ditusuk-tusuk lengannya untuk tes darah. Belum lagi, kalau sudah di rumah sakit.

Tes darah Rifa yang belakangan ini cuma satu tujuannya. Yakni untuk mengetahui kadar hemoglobinnya (Hb). Kalau yang lain, semisal trombosit atau leukosit sih gak ada masalah. Pasti normal. Kayaknya retikulosit juga bakal seperti dulu. Gak pernah ada peningkatan. Itulah yang menyebabkan Rifa harus tranfusi. Sumsum tulang belakangnya gagal untuk bisa memproduski sel darah merah meskipun bahan bakunya cukup memadai. Dalam istilah medisnya disebut Aplastic anemia sistem eritropoietin. Penyebab, tidak diketahui dengan pasti alias idiopatik.

Beberapa bulan lalu sih, sebenarnya Rifa udah menjalani terapi Epo untuk merangsang pembentukan eritropoietinnya. Tapi, sekitar 12 kali suntikan obat yang mahal itu tidak memberikan hasil. Jadilah sampai saat ini Rifa tergantung darah orang lain.

Untung, Rifa meski sakit, tetapi semangat hidupnya luar biasa. Gak pernah tuh, meski Hb nya rendah terus merasa capek. Yang ada, dia tetep aja pecicilan. Ini adalah sebuah hikmah tersendiri. Anak gue tetap hidup normal.

Ya Allah, hanya satu doaku. Sembuhkanlah dia dari penyakitnya. Amin

Monday, April 24, 2006

Ruang Terbuka Hijau

Setiap akhir pekan, saya dan keluarga selalu menyempatkan diri untuk berolahraga pagi. Ya, paling tidak joging lah. Start-nya, mulai dari rumah di Kompleks Perindustrian sampai finish di lapangan BKKBN Halim. Lumayan lah, aktivitas fisik seperti ini. Bisa bikin badan jadi segar. Apalagi buat Rifa. Duh senangnya dia kalau diajak jalan-jalan pagi. Tengok sana tengok sini. Pecicilan dan tingkahnya itu lho. Gak nahan.

Biasanya, kalau sudah sampai lapangan BKKBN, orang-orang itu sudah banyak. Mereka biasanya juga membawa keluarga masing-masing. Banyak yang kita bisa lakukan di lapangan BKKBN ini. Mau main bulutangkis, silahkan. Jalan-jalan di koridor, boleh. Main sepakbola, ayo aja. Atau, mengikuti senam sehat dengan instruktur yang sudah siap sedia. Pokoknya, olahraga apapun bisa kita lakukan di sini.

Meklumlah jika lapangan BKKBN menjadi pelampiasan warga untuk berolahraga. Sebab, di kawasan tempat tinggal saya, jarang sekali ruang terbuka hijau (RTH) yang bisa dijadikan sarana bagi masyarakat untuk berkumpul. Yang ada, ruang tersebut telah digunakan untuk berbagai macam proyek. Misalnya perkantoran, perumahan atau bikin kos-kosan.

Minimnya ruang terbuka hijau, saya pikir bukan cuma di sekitar Halim. Di tempat lain di seantero Jakarta ini, ruang terbuka hijau juga semakin terkikis. Menjadi pemandangan biasa kalau masyarakat memanfaatkan lapangan gedung perkantoran sebagai sarana berkumpul mereka. Mau bilang apa lagi. Ruang yang seharusnya menjadi tempat berekspresi mereka ternyata telah beralih fungsi menjadi hutan beton yang minim manfaat. Padahal, kalau kita mau bijak, ruang terbuka hijau itu, selain menjadi tempat berkumpulnya warga, juga menjadi paru-paru kota dan resapan air.

Pengamat masalah tata kota, Nirwono Joga, dalam suatu kesempatan kepada saya pernah mengatakan bahwa dari dulu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang jago membuat berbagai macam program penghijauan. Diawali Gerakan Penghijauan Kota (1970); Program Hijau Pertamanan Kota (1975); Gerakan Memasyarakatkan Keindahan, Kebersihan, dan Keteduhan Lingkungan Hidup (1980); Program Pembangunan Kota Jakarta Berwawasan Lingkungan dengan Program Pembangunan Hutan Kota (1984); Program Penghijauan Bantaran Sungai (1988); Program Penghijauan Sejuta Pohon dan Program Penghijauan Sadpraja (1992); Program Jakarta Teduh, Hijau Royo-royo, dan Berkicau (2000); dan terkini Program Jakarta Hijau (2003).

Tetapi, hasilnya justru terbalik. Yang terjadi adalah penurunan signifikan target luasan ruang terbuka hijau (RTH) yang memperlihatkan ketidakkonsistenan kebijakan Pemprov DKI dalam mengembangkan RTH kota.

Jika dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 ditargetkan luas RTH sebesar 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 target luas RTH dipangkas menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal).

Belum puas, luasan RTH dipotong lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 dengan target hanya sebesar 13,94 persen (tidak ideal). Sementara itu, luas RTH di lapangan hanya berkisar sembilan persen (50,53 hetar) dari total luas Kota Jakarta yang 66.152 hektar. Dengan kondisi seperti itu, RTH di Jakarta bisa disebut kritis.

Pertanyaanya kemudian, kapankah Jakarta yang menjadi milik kita ini kembali menjadi hijau seperti tempo doeloe ? Entahlah

Friday, April 14, 2006

Sisi "Lain" Ujung Genteng

Pekan lalu, gue jalan-jalan ke Ujung Genteng. Sebuah lokasi wisata yang masih perawan dan belum terjamah. Ada banyak lokasi menarik di sana. Misalnya saja Pantai Pangumbahan, Ombak Tujuh, Muara Cibuaya, melihat penyu hijau bertelur atau sekadar melihat perkampungan nelayan di Ujung Genteng.

Memang sih, untuk mencapai Ujung Genteng, perlu banyak "pengorbanan". Dari Jakarta saja, waktu tempuhnya sekitar 10 jam. Belum lagi, sepanjang akses menuju Ujung Genteng, jalannya rusak. Nyaris sedikit sekali ditemui jalan yang mulus. Tapi, memang, bagi travelers sejati, pasti tidak akan menyerah. Jalan seperti itu akan dilabrak terus. Apalagi kalau sudah sampai di Ujung Genteng. Capeknya perjalanan selama 10 jam akan hilang. Berganti dengan rasa takjub terhadap kekuasaan Illahi.

Soal keindahan alan Ujung Genteng mungkin sudah banyak yang bahas. Kali ini gue akan ngebahas sisi"lain" Ujung Genteng. Yakni mengenai pelacuran yang makin marak. Bukan apa-apa gue nulis ini. Gue khawatir kalau-kalau keasrian Ujung Genteng akan terkoyak oleh bisnis yang satu ini. Meskipun hal yang sudah lumrah juga kalau bisnis pariwisata sejalan dengan bisnis seks.

Bagi masyarakat Ujung Genteng, menjadi nelayan atau petani sudah dilakoni turun-temurun. Tapi masalahnya, tidak banyak yang bisa diandalkan dari kedua sektor tersebut. Apalagi, kalau lagi angin musim barat seperti sekarang. Alhasil, pendapatan dari menjala ikan di laut, dalam 5 tahun belakangan ini, terus mengalami kemerosotan. Bukti riilnya bisa dilihat di Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Ujung Genteng, yang semakin sepi dari hari ke hari.

Setali tiga uang dengan nelayan adalah petani. Yang mereka andalkan cuma satu. Yakni dari bertanam kelapa untuk diambil nira-nya. Sudah bisa dipastikan, penghasilan dari bertani seperti ini pun tidak akan mencukupi untuk makan sehari-hari.

Mereka yang sedikit punya kelebihan, memanfaatkan potensi wisata Ujung Gentang dengan berbagai cara. Misalnya saja bikin penginapan murah. Atau mereka kredit motor untuk dijadikan ojek. Harus diakui memang, ojek adalah sumber utama transportasi untuk bisa menikmati keindahan alam Ujung Genteng. Masalahnya, pelancong yang ke Ujung Genteng itu tidak seberapa. Jangan bandingkan Ujung Genteng dengan Anyer atau Carita yang didatangi ribuan turis setipa akhir pekannya. Di Ujung Genteng, paling-paling cuma puluhan wisatawan lokal (plus beberapa pelancong asing yang hendak surfing) yang mengunjungi Ujung Genteng. Akhirnya, banyak penginapan yang tidak laku dan sia-sia karena tidak ada yang menyewa. Tukang ojek pun banyak yang menganggur.

Yang paling miris dari kondisi ini adalah kaum perempuan di Ujung Genteng. Karena ekonomi yang tidak berjalan, banyak diantara mereka yang memutuskan menjadi TKW. Mereka yang tidak punya keterampilan dan juga tidak punya dana untuk menjadi TKW akhirnya memilih profesi ini. Menjadi pelacur. Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir ini, warung remang-remang semakin menjamur di Ujung Genteng. Para pelacur pun menjadi beban baru bagi masyarakat sekitar.

 
Blog Design By: BlogSpot Templates