Friday, April 14, 2006

Sisi "Lain" Ujung Genteng

Pekan lalu, gue jalan-jalan ke Ujung Genteng. Sebuah lokasi wisata yang masih perawan dan belum terjamah. Ada banyak lokasi menarik di sana. Misalnya saja Pantai Pangumbahan, Ombak Tujuh, Muara Cibuaya, melihat penyu hijau bertelur atau sekadar melihat perkampungan nelayan di Ujung Genteng.

Memang sih, untuk mencapai Ujung Genteng, perlu banyak "pengorbanan". Dari Jakarta saja, waktu tempuhnya sekitar 10 jam. Belum lagi, sepanjang akses menuju Ujung Genteng, jalannya rusak. Nyaris sedikit sekali ditemui jalan yang mulus. Tapi, memang, bagi travelers sejati, pasti tidak akan menyerah. Jalan seperti itu akan dilabrak terus. Apalagi kalau sudah sampai di Ujung Genteng. Capeknya perjalanan selama 10 jam akan hilang. Berganti dengan rasa takjub terhadap kekuasaan Illahi.

Soal keindahan alan Ujung Genteng mungkin sudah banyak yang bahas. Kali ini gue akan ngebahas sisi"lain" Ujung Genteng. Yakni mengenai pelacuran yang makin marak. Bukan apa-apa gue nulis ini. Gue khawatir kalau-kalau keasrian Ujung Genteng akan terkoyak oleh bisnis yang satu ini. Meskipun hal yang sudah lumrah juga kalau bisnis pariwisata sejalan dengan bisnis seks.

Bagi masyarakat Ujung Genteng, menjadi nelayan atau petani sudah dilakoni turun-temurun. Tapi masalahnya, tidak banyak yang bisa diandalkan dari kedua sektor tersebut. Apalagi, kalau lagi angin musim barat seperti sekarang. Alhasil, pendapatan dari menjala ikan di laut, dalam 5 tahun belakangan ini, terus mengalami kemerosotan. Bukti riilnya bisa dilihat di Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) Ujung Genteng, yang semakin sepi dari hari ke hari.

Setali tiga uang dengan nelayan adalah petani. Yang mereka andalkan cuma satu. Yakni dari bertanam kelapa untuk diambil nira-nya. Sudah bisa dipastikan, penghasilan dari bertani seperti ini pun tidak akan mencukupi untuk makan sehari-hari.

Mereka yang sedikit punya kelebihan, memanfaatkan potensi wisata Ujung Gentang dengan berbagai cara. Misalnya saja bikin penginapan murah. Atau mereka kredit motor untuk dijadikan ojek. Harus diakui memang, ojek adalah sumber utama transportasi untuk bisa menikmati keindahan alam Ujung Genteng. Masalahnya, pelancong yang ke Ujung Genteng itu tidak seberapa. Jangan bandingkan Ujung Genteng dengan Anyer atau Carita yang didatangi ribuan turis setipa akhir pekannya. Di Ujung Genteng, paling-paling cuma puluhan wisatawan lokal (plus beberapa pelancong asing yang hendak surfing) yang mengunjungi Ujung Genteng. Akhirnya, banyak penginapan yang tidak laku dan sia-sia karena tidak ada yang menyewa. Tukang ojek pun banyak yang menganggur.

Yang paling miris dari kondisi ini adalah kaum perempuan di Ujung Genteng. Karena ekonomi yang tidak berjalan, banyak diantara mereka yang memutuskan menjadi TKW. Mereka yang tidak punya keterampilan dan juga tidak punya dana untuk menjadi TKW akhirnya memilih profesi ini. Menjadi pelacur. Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir ini, warung remang-remang semakin menjamur di Ujung Genteng. Para pelacur pun menjadi beban baru bagi masyarakat sekitar.

 
Blog Design By: BlogSpot Templates