Bis Kota Itu Menjadi Sumber Penghasilan
Jakarta semakin sumpek. Menjelang usianya yang ke 479 Juni nanti, ibukota negara ini kian penuh dengan persaingan. Persaingan untuk hidup, persaingan meraih rejeki, persaingan memperoleh pekerjaan dan persaingan dalam segala hal.Nyaris, tidak ada ruang yang tersisa di Jakarta ini. Bayangkan, semua lahan sudah dijadikan proyek-proyek properti. Baik untuk apertemen, perkantoran maupun proyek komersil lainnya. Kesemua itu, tujuan akhirnya adalah benda yang bernama 'duit'.
Begitu juga dalam urusan mengaiss rejeki. Diperlukan keuletan dan semangat pantah menyerah untuk bisa terus hidup dan menggauli Jakarta. Lengah sedikit, sudah pasti akan dilibas orang.
Alhasil, setiap orang pun memanfaatkan kemampuan yang ada untuk bisa mengais rejeki sebesar-sebesarnya. Tak aneh jika kemudian bis kota pun menjadi lahan stretegis untuk meraih pundi sebanyaknya-banyaknya.
Perihal mencari rejeki di dalam bis kota ini sebenarnya bukan barang baru. Jauh sebelum krisis ekonomi melanda negeri ini, orang yang mencari nafkah di bis kota untuk, katakanlah berdagang atau mengamen, sudah ada. Namun, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tapi, tengoklah saat ini. Dalam sekali perjalanan, bisa enam atau sepuluh bahkah lebih makhluk bernama manusia yang mencari sesuap nasi, dengan memanfaatkan penumpang bis kota sebagai pangsa pasar mereka. Sebut saja misalnya pengamen, pedagang asongan, pengedar kotak amal, pengemis dan bermacam profesi mereka.
Sudah barang tentu, kehadiran mereka menggangu penumpang bis kota. Tapi, mau bagaimana lagi. Ekonomi sedanbg sulit. Jadi, yang bisa saya katakan, harap maklumlah dengan kehadiran mereka. Tokh, keberadaan mereka juga yang membuat perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta tetap berputar.